Ombudsman Soroti Penanganan Bencana di Tanah Air: Kita Masih Gagap
Ruangjambi.com, Jambi – Awal tahun 2019, Ombudsman memberikan catatan panjang terhadap penanganan bencana di Tanah Air. Menurut mereka, baik BNPB, BPBD, hingga pemerintah daerah masih gagap dalam menangani bencana.
“Sepanjang 2018, kita dihajar 3 kali bencana. Kita tergagap-gagap, ada ratusan ribu (orang) meninggal, tidak jelas penanganannya. Bahkan korban Selat Sunda ada 14 ribu yang meninggal dan belum ditemukan, kita belum belajar dari bencana,“ kata anggota Ombudsman Alvin Lie dalam jumpa pers catatan awal tahun di gedung Ombudsman, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (10/1).
Dalam menghadapi bencana, Alvin membaginya dalam 3 kategori. Pertama, prabencana. Pada kategori ini Alvin menyebut pendidikan bencana masih kurang. Beberapa masih termakan hoaks, contohnya yang terjadi di Sibolga, masyarakat sudah mengungsi dan tsunami yang dikabarkan melanda rupanya tidak terjadi.
Kategori kedua adalah kurangnya Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) bencana. Untuk meng-cover seluruh area rawan bencana di Indonesia, setidaknya dibutuhkan 300 alat sistem peringatan dini. Jumlah ini sudah diajukan kepada pemerintah oleh BMKG.
“Tahun 2012 mereka mengajukan 300 (alat), disetujui 150. Tapi apa yang terjadi, dari 150 yang dimiliki, anggaran yang diberi cuma 100. Akhirnya, Indonesia ini hanya dilindungi 100 alat peringatan dini,” kata Alvin.
Fase ketiga, pola pengelolaan sistem peringatan dini tsunami juga tidak jelas. Sekarang alat tersebut dikelola oleh pemda.
“Jadi jika terpantau ada tsunami, BMKG harus telepon pemda setempat untuk menyalakan sirene. Itu pun BMKG tidak bisa tahu sirene bunyi atau tidak,” imbuh Alvin.
Beralih ke saat penanganan bencana. Alvin heran, kepala penanganan bencana dijabat oleh pihak militer. Di Lombok, kepala BPBD hanya dijadikan wakil. Yang bertindak sebagai kepala adalah Komandan Korem.
“Demikian di Sulteng, ini dikordinir oleh Dandim. Kepala BPBD tidak bisa membuat keputusan jika di lapangan sudah ada kepala koordinatornya,” kata Alvin.
Pascabencana, pemerintah harus menangani banyak masalah administrasi. Perawatan psikis para korban, pembangunan dan perbaikan lokasi terdampak, serta persoalan pencatatan adminsitrasi yang belum mendapatkan perhatian yang cukup.
“Penutupnya, ada beberapa tantangan, ini mempelajari dari aspek perundang-undangan, sistem anggaran dan administrasi harus ada peraturan yang khusus. Kemudian perlu juga ada pedoman publik dalam kondisi tanggap darurat dalam bencana,” tutup Alvin.
(Kumparan)